Uang Saku Peserta Rembuk Stunting di Tanjungsari Diduga Dipotong

EXSPOST.ID — Alih-alih bagi rata, Pemerintah Desa Tanjungsari, Kecamatan Palas, Lampung Selatan, diduga potong uang saku peserta kegiatan rembuk stunting. Uang saku yang seharusnya diberikan sebesar Rp50 ribu per orang, namun uang saku tersebut hanya disalurkan sebesar Rp20 ribu per orang.

Sekretaris Desa Tanjung Sari, Beni, mengatakan pagu anggaran untuk kegiatan rembuk stunting dianggarkan sebesar Rp3 juta. Dimana, dana itu diperuntukkan untuk konsumsi, uang saku narasumber, serta uang saku peserta.

“Anggarannya memang sebesar Rp3 juta. Untuk peserta dianggarkan sebesar Rp50 ribu dan narasumber Rp200 ribu. Kemudian ada untuk anggaran snack,” jelas Beni.

Namun, keterangan berbeda disampaikan Kepala Desa Tanjungsari, Jarwono. Ia mengakui uang saku peserta yang diberikan tidak sesuai pagu anggaran. Sebab, jumlah peserta yang hadir membengkak.

“Sebenarnya untuk uang saku peserta Rp50 ribu, tapi undangan resmi hanya 20 orang. Ternyata yang datang 85 orang, jadi uang saku itu kami bagi rata ke semua peserta, sehingga masing-masing peserta hanya menerima Rp20 ribu. Untuk narasumber tetap Rp200 ribu,” ujar Jarwono pada Minggu 17 Agustus 2025.

Sementara itu, narasumber yang enggan disebutkan namanya membantah klaim jumlah peserta yang mencapai 85 orang. Ia menyebut daftar hadir hanya mencatat sekitar 45 orang.

“Daftar hadir yang saya lihat terakhir waktu kegiatan udah mau selesai 45 orang, logikanya juga kalau 85 orang pasti penuh ruang aula desa Tanjung Sari,” ungkapnya.

Ia juga menambahkan bahwa jumlah kader Posyandu di Desa Tanjung Sari hanya sekitar 18 orang. “Kalau gak salah ada 15 apa 18 orang,” ucapnya.

Sebelumnya, Beni juga merinci jumlah narasumber yang hadir dalam kegiatan tersebut, yakni Camat, Dalduk, dan Pendamping Desa. Selain itu, ada Sekcam, Kasi Ekobang, tiga staf kecamatan, satu staf Dalduk, perwakilan KUA, Ketua BPD, serta Pendamping Lokal Desa. Jika ditambah dengan kader Posyandu sekitar 18 orang, totalnya hanya berkisar 30 orang.

Sejumlah peserta pun merasa keberatan lantaran jumlah uang yang diterima jauh lebih kecil dari ketentuan awal. Mereka menilai panitia kurang transparan dalam mengatur keuangan kegiatan tersebut.

Kasus ini menambah panjang daftar sorotan publik terhadap pengelolaan dana desa. Padahal, program stunting seharusnya difokuskan pada peningkatan gizi dan kesehatan masyarakat.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 26 ayat (4), dengan tegas mengamanatkan kepala desa agar melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Minimnya kompetensi sebagian kepala desa juga diduga menjadi faktor penyimpangan dana desa. Banyak kepala desa dengan latar belakang pendidikan rendah, sehingga pengelolaan anggaran desa tidak optimal.

Selain itu, lemahnya peran masyarakat dalam pengawasan turut membuka celah penyalahgunaan. Padahal, Pasal 68 UU Desa menegaskan bahwa masyarakat berhak mendapat akses informasi serta dilibatkan dalam perencanaan dan pembangunan desa.

Kondisi tersebut diperparah dengan kurang maksimalnya fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga kontrol di tingkat desa.

Exit mobile version